Maret 11, 2009

Selamat Datang Di Galaksi Simulakra

JAGAT SIMULAKRA: KRISIS, PATOLOGI DAN TURBULENSI BUDAYA MASSA

Renal Rinoza Kasturi
Antropolog media

Perjalanan sejarah umat manusia sejak peradaban Yunani Kuno hingga saat ini telah menembus pusaran dunia antah berantah yang seakan manusia sebagai makhluk personal asing terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya dan bahkan menyangsikan dirinya sendiri sampai pada batas dimana krisis kepercayaan diri melanda jutaan anak cucu adam saat ini. Kegamangan dan kebimbangan senantiasa menjadi erat dipeluk dalam keseharian. Dimana-mana kapan saja dan siapa saja tak luput dari virtualitas yang menjiplak realitas kemudian memproduksinya kemudian mereproduksinya sampai mendaur ulang kembali.

Dunia yang kita rasakan saat ini bukanlah pada wilayah akan punahnya ekosistem, mencairnya lapisan Es di kutub utara dan selatan, semakin tak menentunya cuaca, produksi polusi yang begitu massif, pencemaran lingkungan, degradasi hutan, sampai pada pemanasan global yang apabila kita cermati hanya menjadi sebuah komoditi saja bukannya menyentuh pada aspek preventifnya—Maksud saya isu pemanasan global hanya menjadi sebuah komoditas isu semata yang bersifat retoris. Dibalik segala komodifikasi isu yang menjadi konsumsi media dan kita sendiri ialah terjadi krisis kemanusiaan, krisis kemanusiaan ini tidak hanya dilihat pada ranah fisik semata yakni konflik yang terus berkepanjangan antara dua Negara semisal konflik Israel-Palestina, Konflik bersenjata di belahan bumi lainnya seperti gerakan sparatis, genosida dll melainkan yang juga sama-sama tragisnya ialah proses pemiskinan kemanusiaan yang begitu mengkhawatirkan saat ini. Pemiskinan terjadi karena luapan banjir bandang informasi dan teknologi virtual yang begitu dahsyatnya dan beragam simbol-simbol, image-image, ritus-ritus, mitos-mitos baru bermunculan menggantikan paradigma tradisional.

Durasi produksi, konsumsi, komunikasi, dan citraan yang temponya semakin tinggi, tidak saja menimbulkan dampak lingkungan, tetapi juga dampak moral dan spiritual. Tidak hanya penipisan lapisan ozon, tetapi juga pengikisan lapisan moral, penyempitan lapisan spiritual. Tidak hanya sampah fisik (nuklir, industri, rumah tangga), sampah masyarakat (rampok, begal, koruptor), tetapi juga sampah moral (pornografi, skandal).

Alih-alih menjadi masyarakat modern yang terdidik, hidup dengan kelimpahan materi, berperadaban dan percaya akan efektivitas waktu, masyarakat modern terjebak pada sebuah paradigma modern yang mengandaikan limitasi, pembenaran rasionalitas sains dan teknologi, selalu menuntut ke-baru-an yang selalu up to date untuk keluar dari perasaan out of date (kuno, ketinggalan jaman, jadoel). Gempuran-gempuran ragam citra, simbol untuk menjadi modern supaya tidak ketinggalan jaman dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari berupa beragam suguhan media dan perilaku konsumtif, biar nggak ketinggalan jaman masyarakat konsumer terperdaya oleh buku rayu media seperti iklan Three yang mengambil taglinenya : Anti Mati Gaya, atau menjamurnya pusat-pusat kebugaran olahraga yang kita terperangkap pada arus besar komodifikasi seperti tempat fitness, jogging, arena futsal dll. Masyarakat modern selalu dihantui sebuah kondisi psikis yang kronis, gejala-gejala yang dijumpai ialah kondisi psikis keterasingan (alienasi), ketidakpercayaan diri, lemahnya pondasi jiwa, mencari sebuah pelarian (mekanisme eskapistik), dan hidupnya tidak ditentukan oleh kesadaran dirinya namun berangkat dari imitasi yang lain atau hidupnya ditentukan oleh apa-apa yang berada di luar dirinya termasuk media yang menentukan hidupnya yang penuh dengan ragam citraaan-citraan, hasrat tinggi untuk menikmati kebendaan yang abai terhadap nilai utilitas dan mengutamakan hawa nafsu atau desire dalam terminologi budaya massa untuk mengikuti prosesi ritus ekonomi konsumtif.

Kelimpahan informasi, daya pikat produk yang memukau, keinginan yang menggebu-gebu, atributif dan predikatif dalam memiliki barang, prestise sosial merupakan ornamen masyarakat massa. Kecenderungan ingin memiliki sesuatu walaupun komposisi nilai gunanya rendah merupakan sebuah prakondisi kapitalisme lanjut (late capitalism) yang menghinggapi masyarakat kontemporer. Keinginan-keinginan tersebut terbentuk oleh naluri dasariah manusia berupa dorongan libido, yakni karnal dan libidinal. Karnal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya material, seperti lawan jenis, harta benda, atau makanan, dan segala hal material lainnya. Libidinal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya imaterial, seperti citra, harga diri, kekaguman pada orang lain, kepandaian, dan segala imaterial lainnya. Dalam pembentukannya, libidinal ini lebih terarah kepada dirinya sendiri, kepada dorongan dan kepentingan akan pemuasan sang ego—yaitu, aspek ”otak” dari libidinal.

Gabungan karnal dan libidinal akan membentuk hasrat, karena ketika dimanifestasikan, dalam hasrat selalu terdapat unsur karnal dan libidinal. Misalnya, hasrat untuk memiliki HP terbaru dan tercanggih, bermimpi mempunyai Blackberry (karnal) dapat membuat seseorang merasa percaya diri dan bergengsi di hadapan orang lain (libidinal), hasrat untuk memiliki pacar cantik dan seksi (karnal) dapat membuat lelaki merasa bangga dalam pergaulannya (libidinal), dan masih banyak lagi.

Semakin terdegradasinya kesadaran nurani kemanusiaan adalah akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masayarakat konsumer. Keterpesonaan, ketergiuaran, dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi telah melanda kehidupan masyarakat konsumer di tengah-tengah kehidupan yang dikitari oleh belantara benda-benda, tanda-tanda, makna-makna semu; di tengah-tengah kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna-makna spiritual, moralitas, dan kemanusiaan; di tengah-tengah dibangunnya hidup di atas gemerlapnya citraan-citraan ketimbang kedalaman substansi dan transendensi.

Ekstasi adalah suatu keadaan mental dan spiritual yang mencapai titik puncaknya, ketika jiwa secara tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang jauh lebih dalam dibandingkan kesadaran sehari-hari, sehingga pada ketika itu muncul semacam puncak kemampuan diri dan kebahagiaan yang luar biasa serta trance, yang kemudian diiringi oleh pencerahan ( Benjamin Walker, Body Magic, Paladin : New York, 1977, hlm. 122 dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Jalasutra, 2006, hal. 106). Sedangkan menurut Jean Baudrillard, Esktasi adalah kondisi mental dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secraa spiral, sampai pada satu titik ia kehilangan setiap makna, dan memancar sebagai sebuah pribadi yang hampa. Sesorang yang tenggelam di dalam perpusaran siklus hawa nafsunya, pada titik ekstrim menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai moral. Bagi seseorang yang tenggelam menuju titik ekstrim; tidak bergerak ke arah keseimbangan, melainkan menghambakan dirinya pada antagonisme radikal; tidak menuju kearah rekonsiliasi atau sintesis moral, melainkan ke arah dekonstruksi segala asumsi-asumsi moral.

Ekstasi dalam terminologi ini ialah seuatu kondisi jiwa dimana nurani kesadaran kemanusiaan telah memudar bahkan lenyap, manusia seperti ini banyak kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari atau bahkan kita pernah atau sedang mengalaminya, ia tidak dapat membedakan antara yang moral dan amoral, antara yang Haq dan yang Bathil, justru ia terseret pada kuasi kepalsuan, baginya antara nyata dan ilusi sama saja, antara cinta dan hasrat seksual sama saja, hilangnya rasa malu bukanlah sesuatu yang menghancurkan reputasi ia lagi melainkan ia menikmatinya (masokisme).

Kini, rasa malu tidak saja mulai sirna, bahkan ia ditolak karena bukan bagian dari apa yang disebut dengan ke-kini-an. Dengan sirnanya rasa malu, tak ayal di mana-mana kita jumpai betapa mirisnya pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan seperti kekerasan, cabulisasi, merekam adegan panas di handphone, sex by phone, cyberporn; dimana adegan sek dapat berlangsung melalui ruang virtual secara realtime dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, merasa bangga atas apa yang ia lakukan dan tidak pernah merasa bahwa yang dilakukan adalah salah; pembenaran-pembenaran inilah yang mendapatkan legitimasinya dalam kehidupan masayarakat konsumer yang mengandaikan kepuasan nafsu yang diciptakan oleh mesin hasrat (desire machine).

Kondisi kehidupan di dalam masyarakat konsumer sekarang ini adalah sebuah kondisi yang didalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu—nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, keteranan, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, kesenangan; sementara hanya menyisakan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan pencerahan spiritual.

Lenyapnya Yang Tabu, Lenyapnya Pranata Sosial
Dick Hebdige, seorang teoritisi kebudayaan kontemporer, menyatakan bahwa, batas-batas ekspresi bahasa yang dapat diterima diatur oleh seperangkat tabu-tabu yang bersifat universal. Tabu-tabu ini menjamin transparansi (dapat diterima) makna. Akan tetapi kini, ketika tabu itu sendiri telah di dekonstruksi, senada dengan Dick Hebdige, Baudrillard menyatakan bahwa, Ketika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ketika ia menjadi semacam pengoperasian yang tanpa batas, hawa nafsu tersebut menjadi tanpa realitas, sebab ia tanpa imajiner—hawa nafsu di mana-mana, akan tetapi di mana-mana dalam bentuk simulasi.
Tabu merupakan satu mekanisme sosial yang bersifat abstrak dan memberikan fungsi tapal-tapal batas bagi suatu komunitas/masyarakat dalam mengekspresikan atau mereprsentasikan diri mereka melalui dunia objek-objek yang mereka pakai, melalui bahasa yang mereka ucapkan, atau melalui tindak tanduk yang mereka lakukan. Tabu memberikan rambu-rambu mengenai apa yang pantas, kurang pantas dan tak pantas untuk dilihat, dipertontonkan, dilakukan atau direpresentasikan melalui citra-citra dan objek-objek di dalam suatu sistem representasi sosial.

Bagi Baudrillard, porno merupakan menyangkalan dari yang bersifat tabu, Porno, kata Baudrillard, merupakan satu bentuk dekonstruksi realitas—satu bentuk pelanggaran terjauh dari batas-batas seks. Ia menambahkan satu dimensi lain pada ruang seks—porno membuatnya lebih nyata dari kenyataan itu sendiri : realitas semu.

Pornografi lewat jaringan komputer (cyberporn) adalah sebuah tantangan, artinya orang yang merespons tubuh-tubuh virtual tersebut adalah orang yang menjawab tantangan kecabulan; penyempurnaan penampilan tubuh secara virtual lewat teknologi tubuh tertentu adalah sebuah kontes, artinya orang terpesona akan kesempurnaan tubuh tersebut adalah orang yang menerima kontes tersebut. Iklan-iklan virtual di televisi adalah duel, artinya orang yang merespons makna virtual satu iklan ketimbang makna lain adalah orang yang berpartisipasi di dalam duel tersebut. Disini, realitas sosial tenggelam di dalam rimba virtualitas sosial.

Semakin kaburnya batas-batas sosial merupakan indikasi dari luapan besar abad informasi, dalam hal ini apa yang dahulu menjadi norma, adat istiadat semakin hari semakin luntur, manusia ditandai dengan beragam konsumsi mereka terhadap penetrasi budaya kecanggihan teknologi, dahulu kita menjalin relasi dalam tempo yang agak lama namun kini sekejap detik saja kita dapat melakukan hubungan dengan orang lain yang nun jauh berada disana seperti fenomena facebook, friendster, YM, Blog, Mailing-List, dll. Menurut Alain Touraine, misalnya, melihat bahwa proses akhir sosial ini adalah sebagai akibat modernisasi yang telah mencapai titik ekstrimnya dewasa ini, yang disebutnya sebagai hipermodernisasi kontemporer.

Dimana proses akhir sosial ini kini dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya ditangan media dan informasi (televisi, internet), yang menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang menurut hemat saya melampaui tesis Marshall McLuhan, masyarakat massa bukan hanya bagian dari warga kampung global (global village) saja melainkan juga masyarakat simulacra, suatu masyarakat yang mengalami diskontuinitas, artinya beragam citraan-citraan dan salinan-salinan, imitasi-imitasi, tiruan-tiruan, simbol-simbol, ritus-ritus, mitos-mitos baru, penghambaan pada yang bersifat artifisialitas yang kita sendiri tidak ketahui asal muasalnya semuanya terjadi begitu cepat dan massif.

Akhir sosial juga ditandai oleh transparansi sosial, yaitu satu kondisi lenyapnya kategori sosial, batas sosial, hirarki sosial yang sebelumnya membentuk masyarakat. Batas-batas sosial antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa lenyap ditangan majalah porno, video biru (film bokep); batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan virtualitas media dan informasi. Kita dapat saksikan dimana seorang anak-anak bertingkah dan mempunyai selera yang sama seperti orang dewasa seperti permainan, gaya hidup, hobby, musik dll.

Panorama Tubuh dalam diskursus Budaya Massa
Instrumen yang paling fundamental dalam diskursus budaya massa ialah tubuh (body), melalui tubuh terciptalah komodifikasi, tubuh merupakan pangkal dari semua perkara masyarakat kontemporer yang terjerat pada kuasi libido, rotasi hasrat yang menimbulkan ekstasi yang menghanyutkan locus kesadaran (consiousness) menuju pemujaan akan kebendaan dan dorongan hawa nafsu yang menggebu-gebu seakan tak cukup tak terpuaskan, tubuh menjadi pusat gravitasi hawa nafsu (desire) yang anti puas, perputaran mesin hasrat (desire machine) terus bekerja tanpa pernah berhenti.
Melalui tubuh, sekali lagi, terciptalah gelora nafsu, citraan-citraan dan akad jual beli. Ya, inilah tubuh yang dikomersialisasikan, entah dengan keharusan berpenampilan cantik, macho, berkulit putih, kursus kepribadian—jika Anda tak senyum menawan/tak berjalan dengan indah/tak punya penampilan dan tubuh sempurna maka Anda dianggap tak punya kepribadian menarik (charming), SMS perihal nasib peruntungan Anda, film-film porno yang memproduksi wacana bahwa tata cara seks yang benar adalah seperti itu—namun apabila kita pertanyakan kembali apakah demikian kaidah seks yang benar apalagi saya seorang yang beragama Islam apakah dengan cara melakukan hubungan seksual yang demikian dapat dibenarkan oleh agama berupa adegan sex oral atau sepong padahal dalam agama saya jelas-jelas diharamkan cara melakukan hubungan seks seperti itu sekalipun sudah bersuami istri, agenda wajib mengunjungi pusat-pusat kebugaran—jadi fungsi peribadatan sholat jumat atau ke gereja sepertinya memiliki nilai yang sama dengan mengunjungi pusat-pusat kebugaran dan arena futsall, pergi ke salon mungkin untuk sekedar pedicure, mengunjungi Spa dijadwalkan menjadi agenda mingguan, begitu juga pergi ke sebuah tempat fitness yang berada di kawasan Mall-mall elit, iklan-iklan produk kecantikan, kontes kecantikan, gaya minyak rambut dan parfum anak muda, tips kecantikan, memperbesar alat vital kemaskulinan Pria, memperlihatkan kemolekan tubuh—dengan meminjam bahasa agama ialah merupakan tabarruj, memamerkan kegagahan tubuh atletis, suntik silikon, umbrella girl, limpahan cewek-cewek seksi dalam penyelenggaraan pameran otomotif, cybersex —dimana seseorang dapat berkencan dan menjalin hubungan seks via dunia maya, pesan dan atribut kesalehan beragama yang dibentuk oleh media.
Mereka beragama bukan untuk memperoleh tuntunan hidup yang akan membebaskannya dari nihilisme budaya massa tetapi hanya untuk sekedar lip service untuk tidak mau dikatakan orang tidak beragama. Kesadaran agama sebenarnya adalah ‘apa yang dicitrakan media’. Citra-citra esoterik dan eksotik yang dibangun agama tidak menjadi ukuran “kesalehan” karena citra agama yang dibangun oleh media itu telah merubah fungsi agama bukan sebagai eksotisme kesadaran ideal tetapi hanya sebagai komoditas ekonomis yang diukur dari nilai yang hedonistis. Dari sinilah lingkaran setan kesadaran agama itu terus menerus berjalan dan lagi-lagi ini merupakan citra diri, lagi-lagi seonggok tubuh yang ingin dicitrakan dekat dengan Tuhan, dekat dengan anak yatim, memamerkan kesalehannya dihadapan jempretan dan rekaman kamera lalu masuk infotainment. Dan kesemuanya itu apa yang telah saya tulis diatas ialah perputaran modal/kapital dari agen-agen kapitalis, sebuah gejala narsistis dan biar dicap menjadi bagian masyarakat modern sekaligus masyarakat yang religius; modern dan religius untuk apa dan kepada siapa ?
Jean Baudrillard melihat gejala di atas sebagai konstruksi ‘wacana tanpa respons’ dimana entitas-entitas nyata dikonstruk dalam simulacra yang mengisolasi satu dengan lainnya.
Diskursus tubuh tak terlepas dari penyelidikan Foucault dalam mengdiagnosis mekanisme tubuh yang bekerja pada wilayah penampakan, artinya tubuh bukan perkara fisiologis semata melainkan juga sebagai aparatus modernitas. Bagi Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas, personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual. Di dalam karyanya, Foucault hampir semua mengulas bagaimana tubuh beroperasi sangat ekstensif melampaui apa yang ada di dalam tubuh itu sendiri. Sumbangan Foucault bagi studi tubuh dapat ditemui di banyak karyanya diantaranya ialah Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1973), Discipline and Punish (1975), The History of Sexuality (1978), The Use of Pleasure (1985), dan The Care of The Self (1986).
Mike Featherstone mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar ("The Body in Consumer Culture" [1982]). Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Menurutnya dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah kreator utama citra tersebut.
Proyek libidonisasi yang menghinggapi masyarakat kontemporer merupakan sebuah sistem ekonomi ekstasi dimana Jean F. Lyotard, menggambarkan sebuah sistem ekonomi (dari kehidupan pada umumnya) yang melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar, yang disebutnya ekonomi libido : manfaatkanlah potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam dirimu tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan pertontonkan sebebas-bebasnya keindahan-keindahan penampilan, kepribadian, wajah, dan tubuhmu untuk membangkitkan gairah perputaran modal. Ya tubuh bukan sekedar agen biologis semata melainkan menjadi rezim komoditi, rezim narsistis dan diskursus tubuh dalam masyarakat kontemporer telah ”resmi” menjadi prosesi ritual baru dan penyembahan baru, artinya berhala-berhala kedangkalan, kepalsuan juga disembah dan dipuja.
Galaksi Simulakra

Apakah itu simulacra? Simulacra adalah simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak terkait dengan realitas an sich (Holborn & Harlambos, 2004: 975). Konsepsi ini dirumuskan sosiolog Jean Baudrillard sebagai komponen dari teori besarnya tentang sistem neokapitalisme yang sudah merambahi dunia dengan memproduksi barang konsumsi berupa simbol-simbol nan fantastik (Baudrillard dalam Ritzer, 2004: 97).

Basic core pemikiran Baudrillard adalah teori tentang hyper-reality dan simulation. Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas-realitas itu mengungkung “kita” dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang “tidak sesungguhnya” tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran “kita” itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi “kiblat” utama masyarakat massa. Melalui media realitas-realitas dikonstruk dan ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang “menuntun” manusia modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut, inilah yang disebut gugusan simulacra. Simulator-simulator itu antara lain muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain yang tampil dalam TV atau media lain yang mengobral kepuasan fashion, food dan funs.

Baudrillard tampaknya mengikuti tradisi berfikir Claudé Levi-Strauss dalam membuat relasi antara sosiologi dan semiotika; meskipun dia jauh melampaui tradisi sossiologi itu sendiri. Baudrillard mengkonsepkan masyarakat (society dalam sosiologi) dengan menggunakan mass (massa) yang merupakan konseptualisasi masyarakat yang telah terdeterminasi oleh “faktor” budaya yang berada dalam selubung gugusan simulacra.

Simulakrum (simulacrum) atau simulacra dan simulasi (simulasi) adalah konsep yang sangat sentral dalam pembicaraan mengenai kebudayaan posmodern, khususnya kebudayaan hipermodern. Simulacrum adalah “sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain”—semacam salinan (copy), replika, imitasi, dan reproduksi dari sesuatu yang lain sebagai modelnya, akan tetapi, ia adalah salinan dalam pengertian khusus, yang dibangun justru bukan oleh kesamaan, melainkan oleh ketidaksamaan (dissimilitary), dalam pengertian penyimpangan (deviation) atau perversi (perversion), dari bentuk asli. Simulacrum adalah salinan dari salinan (copy of a copy), yaitu ikon yang telah terdegradasi ke dalam keserupaan paling rendah, atau bahkan berbeda sama sekali dari aslinya. Simulasi, adalah simulacrum dalam pengertian khusus, yang disebut pure simulacrum, yaitu sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri. Simulasi adalah proses penciptaan model secara artifisial (lewat computer) dalam rangka mendapatkan pengalaman tentang sesuatu, yang seakan-akan itu nyata, padahal tidak. Dalam simulasi, salinan dan asli, duplikasi dan original, model dan referensi adalah entitas yang sama. Bahkan, pada tingkat paling ekstrim, simulakrum tidak lagi mempunyai relasi dengan dunia realitas itu sendiri. Kebudayaan posmodern dibangun berdasarkan prinsip simulasi, yang di dalamnya deviasi dan penyimpangan (divergence) mendominasi penampakan budaya, yang dapat dilihat di berbagai aspek kebudayaan, seperti simulasi sosial, politik, hukum, media, teror, perang, skandal, seni, musik, televisi, seksualitas, dan spritualitas.

Menggembirakan Kearifan Lokal (local wisdom)

Pada akhir tulisan ini saya tidak berpretensi untuk “memusuhi” kondisi masyarakat kontemporer yang penuh dengan ornamen-ornamen idiom estetik budaya massa yang mengandaikan kepuasaan libido, sirkulasi citra yang lalu lalang, duplikatisasi, artifisialitas, kebanalan, dan keterasingan masyarakat kontemporer terhadap posisi subyeknya. Menurut hemat saya tidak ada sesuatu yang dapat menghadang gerak laju libidonisasi budaya massa melainkan bagaimana kita dapat berdiri pada posisi yang benar sebagai diri kita sendiri tanpa terjebak pada kemunafikan dan kepalsuan.

Sebenarnya apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang merupakan prasyarat peradaban dan bagaimana sebuah peradaban dapat dengan sendiri melakukan dinamisasinya sendiri. Yang menjadi pertanyaan ialah wajarkah ini semua, saya tidak dapat memberikan sebuah jawaban yang pasti dan definitif atas ini semua melainkan kembali lagi posisi kita perlu dipertegas kembali. Maksud saya mempertegas posisi disini ialah bagaimana kita melihat ini secara fenomenologis, artinya apa-apa yang terjadi memang begini adanya walaupun dipaksakan untuk terjadi seperti ini melalui proses rasionalisasi yang dimulai dari abad pencerahan yang ternyata rasionalisasi tersebut menghantarkan pada pembentukan mitos baru.

Menurut hemat saya, yang juga saya dapati ketika saya berbincang-bincang dengan kawan karib saya yang juga menyoroti persoalan masyarakat kontemporer terutama kebudayaan kontemporer, adalah sikap yang tepat untuk mengetahui keberadaan kita di dunia, mempertegas posisi kita, menghidupkan kembali api keluhuran budi, mempertajam nurani, mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan kita, menemukan sebuah kebijaksanaan, mengintensifkan kepekaan spiritual, mendendangkan kembali dan mengibarkan keluhuran budaya kita seperti hikayat-hikayat, pantun-pantun, kegotongroyongan yang dewasa ini terasa begitu asing dalam lalu lintas pergaulan kita dan tentunya menggembirakan kearifan lokal (local wisdom) yang mungkin dewasa ini semakin mahal dan sulit dicari karena tersapu oleh luapan banjir bandang simulacra.

Kearifan lokal yang semakin defisit perlu kita hadirkan kembali dalam setiap etos yang kita lakukan. Nilai-nilai luhur tersebut memberikan sebuah insight bagi kita semua untuk berdaya tahan terhadap gempuran budaya massa yang semakin mengganas dewasa ini, dan saya mengucapkan selamat datang di galaksi simulakra, sebuah galaksi yang penuh dengan tools-tools, layer-layer budaya massa, budaya masyarakat kita saat ini. Jadi, sudah siapkah kita memasukinya, saya kira siap tidak siap kita telah memasukinya dan bahkan terlibat didalamnya dan ironisnya banyak juga yang terjebak di dalamnya alias tersasar tidak dapat kembali pulang.


Sumber Acuan

Amir Piliang, Yasraf. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. 2004. Penerbit Jalasutra : Bandung.
Juliastuti, Nuraini. Studi Tubuh. Newsletter KUNCI No.1, 1999. Di muat dalam http://kunci.or.id/esai/nws/01/studi_tubuh.htm.
Riyanto, Geger. Apa Itu Simulacra. Di muat dalam http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/opini/artikel.php?aid=11921
Hamsah, Ustadi. Konstruk Agama & Budaya Dalam Media Televisi; Pemikiran Jean Baudrillard Tentang Determinasi Imaji. Sumber Belum Terlacak. Artikel ini saya dapati di Internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar