Agustus 17, 2009

PROGRAM PEMUTARAN DAN DISKUSI


PROGRAM PEMUTARAN DAN DISKUSI FILM

Setelah sekian lamanya kami berkontemplasi... akhirnya di bulan ini Agustus 2009 kami memberanikan diri untuk mengadakan program pemutaran dan diskusi film yang terdiri dari 2 sesi. Pertama sesi film dokumenter dan kedua sesi film cerita. kedua pemutaran film tersebut mengangkat satu benang merahnya yaitu nilai-nilai humanis yang terpatri di denyut nadi masyarakat kita.

Pada sesi film dokumenter film-film yang akan kami putar adalah film-film docubox yang dikurasi oleh In-Doc! dan pada sesi kedua kami memutar film cerita: JERMAL.
Film ini merupakan sebuah film yang sangat mengedepan kualitas humanis melalui kedalaman gambar yang dibuatnya dan menceritakan seorang anak yang bernama Jaya yang mau tak mau harus bekerja di Jermal sebuah tonggak penjaringan ikan yang tertancap kuat di tengah laut. Ia disana harus beradaptasi dengan kerasnya kehidupan di Jermal sambil berusaha mendapatkan pengakuan dari ayahnya, Johar (Didi Petet) yang awalnya tak mau mengakui anaknya, Jaya (Iqbal S. Manurung) sebagai anaknya namun belakangan ia mengakuinya juga lantaran melihat perubahan sikap dan kepribadian Jaya yang menajdi keras dan dingin dan ia berusaha untuk membuka diri kepada anaknya dengan membuka rahasianya selama 12 tahun di Jermal dan kembali ke daratan bersama Jaya meskipun sesampainya ia di darat berbagai kemungkinan dapat terjadi dan film ini mengjak kita semua untuk bertukar gagasan, berdialog mengenai sebuah kehidupan terasing di Jermal dan pentingnya nilai-nilai humanis yang diwartakan oleh film ini.

Selamat menyaksikan program pemutaran dan diskusi film!

Maret 30, 2009

LOKAKARYA INTERNAL VIDEO # 2 KOMKA

Ruang Ciputat adalah program lokakarya internal video ke- 2 yang diadakan oleh Komunitas Mahasiswa Kreatif Audio Visual (KOMKA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mengungkapkan hiruk pikuk Ciputat melalui medium video. Pada lokakarya ini akan dilakukan dengan metode riset sosial yang terpadatkan pada beberapa aspek untuk pengungkapannya baik berbicara masalah situs, identitas maupun kesejarahan Ciputat. Program ini bertujuan untuk memproduksi dan mereproduksi wacana melalui bahasa audio visual. Didasari belum atau masih minimnya perekaman perihal Ciputat maka perlu diadakan sebuah program lokakarya untuk memberikan sebuah gagasan kepada publik.


Persembahan :
divisi film & videografi KOMKA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009

Wajah Islam Dalam Sinema Indonesia

Wajah Islam Dalam Sinema Indonesia
Oleh : Renal Rinoza Kasturi


Dari hasil penyelidikan kami menyimpulkan bahwa film-film Islam Indonesia sebagian besar masih menarasikan Islam dengan konteksnya walaupun akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran tema dan film-film Islam menghadirkan sebuah dialog yang konstruktif terhadap sebuah permasalahan yang dihadapi oleh umat baik skalasi personalitas maupun ranah keumatan secara luas. Wajah Islam yang direpresentasikan dalam film Indonesia masih tetap menegaskan permasalahan yang sangat kuat garis korespondensinya dengan sebuah keyakinan beragama dalam membangun sebuah pondasi keimanan yang kokoh walaupun dengan berbagai cobaan dan rintangan yang dihadapinya. Konflik-konflik yang terjadi adalah duplikatisasi persoalan keumatan secara lebih ekstensif.

Film Titian Serambut Dibelah Tujuh adalah film Islam pertama Indonesia yang buat, berdasarkan cerita dan skenario asrul Sani dan disutradarai juga olehnya. Film ini berkisah tentang seorang guru muda, bernama Ibrahim, mencoba menentang cara perfikir dan sistem pendidikan yang kolot dan bagaimana ia menghadapi berbagai macam cobaan. Usahanya dalam membuka kesadaran penduduk akhirnya membuahkan hasil berkat kesabarannya dan pintu kebenaran yang terbuka untuknya walaupun jalan itu diraih sangat melelahkan bagaikan tengah menyeberang titian serambut di belah tujuh. Diproduksi kembali pada tahun 1982 yang disutradarai oleh Chaerul Umam.

Berdasarkan temuan yang kami dapati jumlah produksi film-film Islam Indonesia masih terbilang sangat minim, artinya tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Namun disini kami tidak membahasnya karena belum ada sebuah penelitian yang mencoba menjelaskan ini. Kami berasumsi bahwa minimnya film-film Islam lebih dikarenakan kalah dengan tema-tema lainnya. Penelusuran yang kami dapati ada sebuah patahan yang sangat tajam di film Islam Indonesia. Kami membagikan kedalam dua periodesasi, sebelum dan sesudah gerakan reformasi ’98, artinya film-film yang diproduksi sebelum tahun 1998 sangat jauh berbeda dengan film-film yang diproduksi setelah reformasi 1998. perbedaan tersebut bukan pada aspek teknisnya melainkan narasi yang disuguhkan oleh film tersebut dan menurut hemat kami keduanya sangatlah memiliki karakteristik tersendiri terutama dalam aspek struktur form-nya.

Jika sebelum reformasi 1998 film-film Islam Indonesia menampakkan sebuah wajah yang sangat populis dan sangat aktual dengan permasalahan umat, tak berlebihan kami mengasumsikannya demikian karena hampir sebagian besar cerita yang dibangun berdasarkan problem aktual dan memiliki relevansinya dengan Islam bukan hanya sebagai agama melainkan sebagai sebuah satuan kosmos dalam kehidupan terutama representasi keindonesiaannya tergambar dengan jelas. Nah, ini sangatlah berbeda dengan film-film Islam Indonesia yang dibuat pasca reformasi yang menurut kami masih kurang menampung aspirasi keumatan. Cerita yang diwartakan lebih kepada hal-hal yang bersifat elitis, borjuis dan domestik. Ini tak ubahnya dengan jualan mimpi, kemewahan dan permasalahan cerita cinta Sang tokoh padahal permasalahan yang di hadapi oleh umat Islam Indonesia jauh lebih besar. Jika sebelum reformasi film-film Islam Indonesia tampil sebagai lokomotif pembaharu dan membawa gagasan perubahan sosial sebagai bentuk liberasi dan emansipatoris terhadap umat yang tertindas (membela kaum mustadz afin—tertindas, teraniaya secara social dan politik) maka film-film Islam Indonesia semenjak pasca reformasi justru terjebak pada sandiwara kaum borjuis, konflik yang dibangun berdasarkan pada ranah domestik dan biasanya tidak memiliki sensitivitas gender, contoh yang sangat jelas ialah film Ayat-ayat Cinta yang kami kira gagal untuk membongkar hegemoni negara dan ulama dalam hal ini apa yang sangat relevan dengan konteks Mesir terkhusus ranah kehidupan para pelajar/mahasiswa asal Indonesia, dimana ruang demokrasi masih jauh dari harapan, padahal dalam novelnya sang pengarang Habiburrahman el Shirazy secara sangat eksplisit membongkar itu semua namun dalam film Ayat-ayat Cinta yang ditampilkan ialah pada aspek romansanya saja yang menjadi bangunan film. Selain itu, Film Kun Fa Ya Kun, Perempuan Berkalung Sorban, Doa Yang Mengancam yang kami kira masih terasa kering dan dangkal serta tidak memposisikan Islam sebagai agama yang membebaskan dan tafsiran yang sangat bias terhadap pesan-pesan agama dan ini pengecualian terhadap film Rindu kami PadaMu karya sutradara Garin Nugroho yang diproduksi tahun 2004, Ketika karya Deddy Mizwar yang diproduksi tahun 2006 dan Kiamat Sudah dekat yang juga di buat oleh Deddy Mizwar, kemudian film 3 Doa 3 Cinta yang kembali dibintangi oleh Dian Sastro dan Nicholas Saputra.

Wajah film Islam yang telah berganti wajah tersebut kiranya haruslah tetap menampakkan karakternya sebagai pengejawantahan Islam yang rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan konteks keindonesiaan. Maka kiranya kita dapat ciptakan sebuah film yang menjadi wacana Islam yang lebih bisa memberikan edukasi di tengah masyarakat yang sudah gerah akan dampak terpaan modernisasi.

Diantara beragamnya film-film nasional ternyata secara kuantitas film-film Islam masih sangat sedikit, sekitar 30-an jumlah film Islam yang dibuat di Indonesia sejak film pertama, Titian Serabut Di Belah Tujuh diproduksi pada tahun 1959. kedepannya kami kira perlu sekali digiatkan pembuatan film-film Islam baik level industri maupun jalur alternatif seperti memperkenalkannya di berbagai festival yang ada. Namun walaupun jumlahnya masih terbatas kita perlu apresiasi ternyata partisipasi penonton yang menonton film-film Islam semakin hari semakin meningkat jumlahnya dan prestasi ini telah diukir oleh film Ayat-ayat Cinta yang sukses besar dalam menyedot jumlah menonton hingga 3,5 juta penonton dan ini mengalahkan rekor sebelumnya yang disandang oleh film WaliSongo yang diproduksi pada tahun 1983 dengan dibintangi oleh Deddy Mizwar.


Published by : divisi penelitian dan pengembangan KOMKA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta © 2009

Maret 11, 2009

Selamat Datang Di Galaksi Simulakra

JAGAT SIMULAKRA: KRISIS, PATOLOGI DAN TURBULENSI BUDAYA MASSA

Renal Rinoza Kasturi
Antropolog media

Perjalanan sejarah umat manusia sejak peradaban Yunani Kuno hingga saat ini telah menembus pusaran dunia antah berantah yang seakan manusia sebagai makhluk personal asing terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya dan bahkan menyangsikan dirinya sendiri sampai pada batas dimana krisis kepercayaan diri melanda jutaan anak cucu adam saat ini. Kegamangan dan kebimbangan senantiasa menjadi erat dipeluk dalam keseharian. Dimana-mana kapan saja dan siapa saja tak luput dari virtualitas yang menjiplak realitas kemudian memproduksinya kemudian mereproduksinya sampai mendaur ulang kembali.

Dunia yang kita rasakan saat ini bukanlah pada wilayah akan punahnya ekosistem, mencairnya lapisan Es di kutub utara dan selatan, semakin tak menentunya cuaca, produksi polusi yang begitu massif, pencemaran lingkungan, degradasi hutan, sampai pada pemanasan global yang apabila kita cermati hanya menjadi sebuah komoditi saja bukannya menyentuh pada aspek preventifnya—Maksud saya isu pemanasan global hanya menjadi sebuah komoditas isu semata yang bersifat retoris. Dibalik segala komodifikasi isu yang menjadi konsumsi media dan kita sendiri ialah terjadi krisis kemanusiaan, krisis kemanusiaan ini tidak hanya dilihat pada ranah fisik semata yakni konflik yang terus berkepanjangan antara dua Negara semisal konflik Israel-Palestina, Konflik bersenjata di belahan bumi lainnya seperti gerakan sparatis, genosida dll melainkan yang juga sama-sama tragisnya ialah proses pemiskinan kemanusiaan yang begitu mengkhawatirkan saat ini. Pemiskinan terjadi karena luapan banjir bandang informasi dan teknologi virtual yang begitu dahsyatnya dan beragam simbol-simbol, image-image, ritus-ritus, mitos-mitos baru bermunculan menggantikan paradigma tradisional.

Durasi produksi, konsumsi, komunikasi, dan citraan yang temponya semakin tinggi, tidak saja menimbulkan dampak lingkungan, tetapi juga dampak moral dan spiritual. Tidak hanya penipisan lapisan ozon, tetapi juga pengikisan lapisan moral, penyempitan lapisan spiritual. Tidak hanya sampah fisik (nuklir, industri, rumah tangga), sampah masyarakat (rampok, begal, koruptor), tetapi juga sampah moral (pornografi, skandal).

Alih-alih menjadi masyarakat modern yang terdidik, hidup dengan kelimpahan materi, berperadaban dan percaya akan efektivitas waktu, masyarakat modern terjebak pada sebuah paradigma modern yang mengandaikan limitasi, pembenaran rasionalitas sains dan teknologi, selalu menuntut ke-baru-an yang selalu up to date untuk keluar dari perasaan out of date (kuno, ketinggalan jaman, jadoel). Gempuran-gempuran ragam citra, simbol untuk menjadi modern supaya tidak ketinggalan jaman dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari berupa beragam suguhan media dan perilaku konsumtif, biar nggak ketinggalan jaman masyarakat konsumer terperdaya oleh buku rayu media seperti iklan Three yang mengambil taglinenya : Anti Mati Gaya, atau menjamurnya pusat-pusat kebugaran olahraga yang kita terperangkap pada arus besar komodifikasi seperti tempat fitness, jogging, arena futsal dll. Masyarakat modern selalu dihantui sebuah kondisi psikis yang kronis, gejala-gejala yang dijumpai ialah kondisi psikis keterasingan (alienasi), ketidakpercayaan diri, lemahnya pondasi jiwa, mencari sebuah pelarian (mekanisme eskapistik), dan hidupnya tidak ditentukan oleh kesadaran dirinya namun berangkat dari imitasi yang lain atau hidupnya ditentukan oleh apa-apa yang berada di luar dirinya termasuk media yang menentukan hidupnya yang penuh dengan ragam citraaan-citraan, hasrat tinggi untuk menikmati kebendaan yang abai terhadap nilai utilitas dan mengutamakan hawa nafsu atau desire dalam terminologi budaya massa untuk mengikuti prosesi ritus ekonomi konsumtif.

Kelimpahan informasi, daya pikat produk yang memukau, keinginan yang menggebu-gebu, atributif dan predikatif dalam memiliki barang, prestise sosial merupakan ornamen masyarakat massa. Kecenderungan ingin memiliki sesuatu walaupun komposisi nilai gunanya rendah merupakan sebuah prakondisi kapitalisme lanjut (late capitalism) yang menghinggapi masyarakat kontemporer. Keinginan-keinginan tersebut terbentuk oleh naluri dasariah manusia berupa dorongan libido, yakni karnal dan libidinal. Karnal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya material, seperti lawan jenis, harta benda, atau makanan, dan segala hal material lainnya. Libidinal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya imaterial, seperti citra, harga diri, kekaguman pada orang lain, kepandaian, dan segala imaterial lainnya. Dalam pembentukannya, libidinal ini lebih terarah kepada dirinya sendiri, kepada dorongan dan kepentingan akan pemuasan sang ego—yaitu, aspek ”otak” dari libidinal.

Gabungan karnal dan libidinal akan membentuk hasrat, karena ketika dimanifestasikan, dalam hasrat selalu terdapat unsur karnal dan libidinal. Misalnya, hasrat untuk memiliki HP terbaru dan tercanggih, bermimpi mempunyai Blackberry (karnal) dapat membuat seseorang merasa percaya diri dan bergengsi di hadapan orang lain (libidinal), hasrat untuk memiliki pacar cantik dan seksi (karnal) dapat membuat lelaki merasa bangga dalam pergaulannya (libidinal), dan masih banyak lagi.

Semakin terdegradasinya kesadaran nurani kemanusiaan adalah akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masayarakat konsumer. Keterpesonaan, ketergiuaran, dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi telah melanda kehidupan masyarakat konsumer di tengah-tengah kehidupan yang dikitari oleh belantara benda-benda, tanda-tanda, makna-makna semu; di tengah-tengah kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna-makna spiritual, moralitas, dan kemanusiaan; di tengah-tengah dibangunnya hidup di atas gemerlapnya citraan-citraan ketimbang kedalaman substansi dan transendensi.

Ekstasi adalah suatu keadaan mental dan spiritual yang mencapai titik puncaknya, ketika jiwa secara tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang jauh lebih dalam dibandingkan kesadaran sehari-hari, sehingga pada ketika itu muncul semacam puncak kemampuan diri dan kebahagiaan yang luar biasa serta trance, yang kemudian diiringi oleh pencerahan ( Benjamin Walker, Body Magic, Paladin : New York, 1977, hlm. 122 dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Jalasutra, 2006, hal. 106). Sedangkan menurut Jean Baudrillard, Esktasi adalah kondisi mental dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secraa spiral, sampai pada satu titik ia kehilangan setiap makna, dan memancar sebagai sebuah pribadi yang hampa. Sesorang yang tenggelam di dalam perpusaran siklus hawa nafsunya, pada titik ekstrim menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai moral. Bagi seseorang yang tenggelam menuju titik ekstrim; tidak bergerak ke arah keseimbangan, melainkan menghambakan dirinya pada antagonisme radikal; tidak menuju kearah rekonsiliasi atau sintesis moral, melainkan ke arah dekonstruksi segala asumsi-asumsi moral.

Ekstasi dalam terminologi ini ialah seuatu kondisi jiwa dimana nurani kesadaran kemanusiaan telah memudar bahkan lenyap, manusia seperti ini banyak kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari atau bahkan kita pernah atau sedang mengalaminya, ia tidak dapat membedakan antara yang moral dan amoral, antara yang Haq dan yang Bathil, justru ia terseret pada kuasi kepalsuan, baginya antara nyata dan ilusi sama saja, antara cinta dan hasrat seksual sama saja, hilangnya rasa malu bukanlah sesuatu yang menghancurkan reputasi ia lagi melainkan ia menikmatinya (masokisme).

Kini, rasa malu tidak saja mulai sirna, bahkan ia ditolak karena bukan bagian dari apa yang disebut dengan ke-kini-an. Dengan sirnanya rasa malu, tak ayal di mana-mana kita jumpai betapa mirisnya pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan seperti kekerasan, cabulisasi, merekam adegan panas di handphone, sex by phone, cyberporn; dimana adegan sek dapat berlangsung melalui ruang virtual secara realtime dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, merasa bangga atas apa yang ia lakukan dan tidak pernah merasa bahwa yang dilakukan adalah salah; pembenaran-pembenaran inilah yang mendapatkan legitimasinya dalam kehidupan masayarakat konsumer yang mengandaikan kepuasan nafsu yang diciptakan oleh mesin hasrat (desire machine).

Kondisi kehidupan di dalam masyarakat konsumer sekarang ini adalah sebuah kondisi yang didalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu—nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, keteranan, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, kesenangan; sementara hanya menyisakan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan pencerahan spiritual.

Lenyapnya Yang Tabu, Lenyapnya Pranata Sosial
Dick Hebdige, seorang teoritisi kebudayaan kontemporer, menyatakan bahwa, batas-batas ekspresi bahasa yang dapat diterima diatur oleh seperangkat tabu-tabu yang bersifat universal. Tabu-tabu ini menjamin transparansi (dapat diterima) makna. Akan tetapi kini, ketika tabu itu sendiri telah di dekonstruksi, senada dengan Dick Hebdige, Baudrillard menyatakan bahwa, Ketika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ketika ia menjadi semacam pengoperasian yang tanpa batas, hawa nafsu tersebut menjadi tanpa realitas, sebab ia tanpa imajiner—hawa nafsu di mana-mana, akan tetapi di mana-mana dalam bentuk simulasi.
Tabu merupakan satu mekanisme sosial yang bersifat abstrak dan memberikan fungsi tapal-tapal batas bagi suatu komunitas/masyarakat dalam mengekspresikan atau mereprsentasikan diri mereka melalui dunia objek-objek yang mereka pakai, melalui bahasa yang mereka ucapkan, atau melalui tindak tanduk yang mereka lakukan. Tabu memberikan rambu-rambu mengenai apa yang pantas, kurang pantas dan tak pantas untuk dilihat, dipertontonkan, dilakukan atau direpresentasikan melalui citra-citra dan objek-objek di dalam suatu sistem representasi sosial.

Bagi Baudrillard, porno merupakan menyangkalan dari yang bersifat tabu, Porno, kata Baudrillard, merupakan satu bentuk dekonstruksi realitas—satu bentuk pelanggaran terjauh dari batas-batas seks. Ia menambahkan satu dimensi lain pada ruang seks—porno membuatnya lebih nyata dari kenyataan itu sendiri : realitas semu.

Pornografi lewat jaringan komputer (cyberporn) adalah sebuah tantangan, artinya orang yang merespons tubuh-tubuh virtual tersebut adalah orang yang menjawab tantangan kecabulan; penyempurnaan penampilan tubuh secara virtual lewat teknologi tubuh tertentu adalah sebuah kontes, artinya orang terpesona akan kesempurnaan tubuh tersebut adalah orang yang menerima kontes tersebut. Iklan-iklan virtual di televisi adalah duel, artinya orang yang merespons makna virtual satu iklan ketimbang makna lain adalah orang yang berpartisipasi di dalam duel tersebut. Disini, realitas sosial tenggelam di dalam rimba virtualitas sosial.

Semakin kaburnya batas-batas sosial merupakan indikasi dari luapan besar abad informasi, dalam hal ini apa yang dahulu menjadi norma, adat istiadat semakin hari semakin luntur, manusia ditandai dengan beragam konsumsi mereka terhadap penetrasi budaya kecanggihan teknologi, dahulu kita menjalin relasi dalam tempo yang agak lama namun kini sekejap detik saja kita dapat melakukan hubungan dengan orang lain yang nun jauh berada disana seperti fenomena facebook, friendster, YM, Blog, Mailing-List, dll. Menurut Alain Touraine, misalnya, melihat bahwa proses akhir sosial ini adalah sebagai akibat modernisasi yang telah mencapai titik ekstrimnya dewasa ini, yang disebutnya sebagai hipermodernisasi kontemporer.

Dimana proses akhir sosial ini kini dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya ditangan media dan informasi (televisi, internet), yang menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang menurut hemat saya melampaui tesis Marshall McLuhan, masyarakat massa bukan hanya bagian dari warga kampung global (global village) saja melainkan juga masyarakat simulacra, suatu masyarakat yang mengalami diskontuinitas, artinya beragam citraan-citraan dan salinan-salinan, imitasi-imitasi, tiruan-tiruan, simbol-simbol, ritus-ritus, mitos-mitos baru, penghambaan pada yang bersifat artifisialitas yang kita sendiri tidak ketahui asal muasalnya semuanya terjadi begitu cepat dan massif.

Akhir sosial juga ditandai oleh transparansi sosial, yaitu satu kondisi lenyapnya kategori sosial, batas sosial, hirarki sosial yang sebelumnya membentuk masyarakat. Batas-batas sosial antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa lenyap ditangan majalah porno, video biru (film bokep); batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan virtualitas media dan informasi. Kita dapat saksikan dimana seorang anak-anak bertingkah dan mempunyai selera yang sama seperti orang dewasa seperti permainan, gaya hidup, hobby, musik dll.

Panorama Tubuh dalam diskursus Budaya Massa
Instrumen yang paling fundamental dalam diskursus budaya massa ialah tubuh (body), melalui tubuh terciptalah komodifikasi, tubuh merupakan pangkal dari semua perkara masyarakat kontemporer yang terjerat pada kuasi libido, rotasi hasrat yang menimbulkan ekstasi yang menghanyutkan locus kesadaran (consiousness) menuju pemujaan akan kebendaan dan dorongan hawa nafsu yang menggebu-gebu seakan tak cukup tak terpuaskan, tubuh menjadi pusat gravitasi hawa nafsu (desire) yang anti puas, perputaran mesin hasrat (desire machine) terus bekerja tanpa pernah berhenti.
Melalui tubuh, sekali lagi, terciptalah gelora nafsu, citraan-citraan dan akad jual beli. Ya, inilah tubuh yang dikomersialisasikan, entah dengan keharusan berpenampilan cantik, macho, berkulit putih, kursus kepribadian—jika Anda tak senyum menawan/tak berjalan dengan indah/tak punya penampilan dan tubuh sempurna maka Anda dianggap tak punya kepribadian menarik (charming), SMS perihal nasib peruntungan Anda, film-film porno yang memproduksi wacana bahwa tata cara seks yang benar adalah seperti itu—namun apabila kita pertanyakan kembali apakah demikian kaidah seks yang benar apalagi saya seorang yang beragama Islam apakah dengan cara melakukan hubungan seksual yang demikian dapat dibenarkan oleh agama berupa adegan sex oral atau sepong padahal dalam agama saya jelas-jelas diharamkan cara melakukan hubungan seks seperti itu sekalipun sudah bersuami istri, agenda wajib mengunjungi pusat-pusat kebugaran—jadi fungsi peribadatan sholat jumat atau ke gereja sepertinya memiliki nilai yang sama dengan mengunjungi pusat-pusat kebugaran dan arena futsall, pergi ke salon mungkin untuk sekedar pedicure, mengunjungi Spa dijadwalkan menjadi agenda mingguan, begitu juga pergi ke sebuah tempat fitness yang berada di kawasan Mall-mall elit, iklan-iklan produk kecantikan, kontes kecantikan, gaya minyak rambut dan parfum anak muda, tips kecantikan, memperbesar alat vital kemaskulinan Pria, memperlihatkan kemolekan tubuh—dengan meminjam bahasa agama ialah merupakan tabarruj, memamerkan kegagahan tubuh atletis, suntik silikon, umbrella girl, limpahan cewek-cewek seksi dalam penyelenggaraan pameran otomotif, cybersex —dimana seseorang dapat berkencan dan menjalin hubungan seks via dunia maya, pesan dan atribut kesalehan beragama yang dibentuk oleh media.
Mereka beragama bukan untuk memperoleh tuntunan hidup yang akan membebaskannya dari nihilisme budaya massa tetapi hanya untuk sekedar lip service untuk tidak mau dikatakan orang tidak beragama. Kesadaran agama sebenarnya adalah ‘apa yang dicitrakan media’. Citra-citra esoterik dan eksotik yang dibangun agama tidak menjadi ukuran “kesalehan” karena citra agama yang dibangun oleh media itu telah merubah fungsi agama bukan sebagai eksotisme kesadaran ideal tetapi hanya sebagai komoditas ekonomis yang diukur dari nilai yang hedonistis. Dari sinilah lingkaran setan kesadaran agama itu terus menerus berjalan dan lagi-lagi ini merupakan citra diri, lagi-lagi seonggok tubuh yang ingin dicitrakan dekat dengan Tuhan, dekat dengan anak yatim, memamerkan kesalehannya dihadapan jempretan dan rekaman kamera lalu masuk infotainment. Dan kesemuanya itu apa yang telah saya tulis diatas ialah perputaran modal/kapital dari agen-agen kapitalis, sebuah gejala narsistis dan biar dicap menjadi bagian masyarakat modern sekaligus masyarakat yang religius; modern dan religius untuk apa dan kepada siapa ?
Jean Baudrillard melihat gejala di atas sebagai konstruksi ‘wacana tanpa respons’ dimana entitas-entitas nyata dikonstruk dalam simulacra yang mengisolasi satu dengan lainnya.
Diskursus tubuh tak terlepas dari penyelidikan Foucault dalam mengdiagnosis mekanisme tubuh yang bekerja pada wilayah penampakan, artinya tubuh bukan perkara fisiologis semata melainkan juga sebagai aparatus modernitas. Bagi Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas, personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual. Di dalam karyanya, Foucault hampir semua mengulas bagaimana tubuh beroperasi sangat ekstensif melampaui apa yang ada di dalam tubuh itu sendiri. Sumbangan Foucault bagi studi tubuh dapat ditemui di banyak karyanya diantaranya ialah Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1973), Discipline and Punish (1975), The History of Sexuality (1978), The Use of Pleasure (1985), dan The Care of The Self (1986).
Mike Featherstone mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar ("The Body in Consumer Culture" [1982]). Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Menurutnya dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah kreator utama citra tersebut.
Proyek libidonisasi yang menghinggapi masyarakat kontemporer merupakan sebuah sistem ekonomi ekstasi dimana Jean F. Lyotard, menggambarkan sebuah sistem ekonomi (dari kehidupan pada umumnya) yang melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar, yang disebutnya ekonomi libido : manfaatkanlah potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam dirimu tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan pertontonkan sebebas-bebasnya keindahan-keindahan penampilan, kepribadian, wajah, dan tubuhmu untuk membangkitkan gairah perputaran modal. Ya tubuh bukan sekedar agen biologis semata melainkan menjadi rezim komoditi, rezim narsistis dan diskursus tubuh dalam masyarakat kontemporer telah ”resmi” menjadi prosesi ritual baru dan penyembahan baru, artinya berhala-berhala kedangkalan, kepalsuan juga disembah dan dipuja.
Galaksi Simulakra

Apakah itu simulacra? Simulacra adalah simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak terkait dengan realitas an sich (Holborn & Harlambos, 2004: 975). Konsepsi ini dirumuskan sosiolog Jean Baudrillard sebagai komponen dari teori besarnya tentang sistem neokapitalisme yang sudah merambahi dunia dengan memproduksi barang konsumsi berupa simbol-simbol nan fantastik (Baudrillard dalam Ritzer, 2004: 97).

Basic core pemikiran Baudrillard adalah teori tentang hyper-reality dan simulation. Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas-realitas itu mengungkung “kita” dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang “tidak sesungguhnya” tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran “kita” itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi “kiblat” utama masyarakat massa. Melalui media realitas-realitas dikonstruk dan ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang “menuntun” manusia modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut, inilah yang disebut gugusan simulacra. Simulator-simulator itu antara lain muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain yang tampil dalam TV atau media lain yang mengobral kepuasan fashion, food dan funs.

Baudrillard tampaknya mengikuti tradisi berfikir Claudé Levi-Strauss dalam membuat relasi antara sosiologi dan semiotika; meskipun dia jauh melampaui tradisi sossiologi itu sendiri. Baudrillard mengkonsepkan masyarakat (society dalam sosiologi) dengan menggunakan mass (massa) yang merupakan konseptualisasi masyarakat yang telah terdeterminasi oleh “faktor” budaya yang berada dalam selubung gugusan simulacra.

Simulakrum (simulacrum) atau simulacra dan simulasi (simulasi) adalah konsep yang sangat sentral dalam pembicaraan mengenai kebudayaan posmodern, khususnya kebudayaan hipermodern. Simulacrum adalah “sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain”—semacam salinan (copy), replika, imitasi, dan reproduksi dari sesuatu yang lain sebagai modelnya, akan tetapi, ia adalah salinan dalam pengertian khusus, yang dibangun justru bukan oleh kesamaan, melainkan oleh ketidaksamaan (dissimilitary), dalam pengertian penyimpangan (deviation) atau perversi (perversion), dari bentuk asli. Simulacrum adalah salinan dari salinan (copy of a copy), yaitu ikon yang telah terdegradasi ke dalam keserupaan paling rendah, atau bahkan berbeda sama sekali dari aslinya. Simulasi, adalah simulacrum dalam pengertian khusus, yang disebut pure simulacrum, yaitu sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri. Simulasi adalah proses penciptaan model secara artifisial (lewat computer) dalam rangka mendapatkan pengalaman tentang sesuatu, yang seakan-akan itu nyata, padahal tidak. Dalam simulasi, salinan dan asli, duplikasi dan original, model dan referensi adalah entitas yang sama. Bahkan, pada tingkat paling ekstrim, simulakrum tidak lagi mempunyai relasi dengan dunia realitas itu sendiri. Kebudayaan posmodern dibangun berdasarkan prinsip simulasi, yang di dalamnya deviasi dan penyimpangan (divergence) mendominasi penampakan budaya, yang dapat dilihat di berbagai aspek kebudayaan, seperti simulasi sosial, politik, hukum, media, teror, perang, skandal, seni, musik, televisi, seksualitas, dan spritualitas.

Menggembirakan Kearifan Lokal (local wisdom)

Pada akhir tulisan ini saya tidak berpretensi untuk “memusuhi” kondisi masyarakat kontemporer yang penuh dengan ornamen-ornamen idiom estetik budaya massa yang mengandaikan kepuasaan libido, sirkulasi citra yang lalu lalang, duplikatisasi, artifisialitas, kebanalan, dan keterasingan masyarakat kontemporer terhadap posisi subyeknya. Menurut hemat saya tidak ada sesuatu yang dapat menghadang gerak laju libidonisasi budaya massa melainkan bagaimana kita dapat berdiri pada posisi yang benar sebagai diri kita sendiri tanpa terjebak pada kemunafikan dan kepalsuan.

Sebenarnya apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang merupakan prasyarat peradaban dan bagaimana sebuah peradaban dapat dengan sendiri melakukan dinamisasinya sendiri. Yang menjadi pertanyaan ialah wajarkah ini semua, saya tidak dapat memberikan sebuah jawaban yang pasti dan definitif atas ini semua melainkan kembali lagi posisi kita perlu dipertegas kembali. Maksud saya mempertegas posisi disini ialah bagaimana kita melihat ini secara fenomenologis, artinya apa-apa yang terjadi memang begini adanya walaupun dipaksakan untuk terjadi seperti ini melalui proses rasionalisasi yang dimulai dari abad pencerahan yang ternyata rasionalisasi tersebut menghantarkan pada pembentukan mitos baru.

Menurut hemat saya, yang juga saya dapati ketika saya berbincang-bincang dengan kawan karib saya yang juga menyoroti persoalan masyarakat kontemporer terutama kebudayaan kontemporer, adalah sikap yang tepat untuk mengetahui keberadaan kita di dunia, mempertegas posisi kita, menghidupkan kembali api keluhuran budi, mempertajam nurani, mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan kita, menemukan sebuah kebijaksanaan, mengintensifkan kepekaan spiritual, mendendangkan kembali dan mengibarkan keluhuran budaya kita seperti hikayat-hikayat, pantun-pantun, kegotongroyongan yang dewasa ini terasa begitu asing dalam lalu lintas pergaulan kita dan tentunya menggembirakan kearifan lokal (local wisdom) yang mungkin dewasa ini semakin mahal dan sulit dicari karena tersapu oleh luapan banjir bandang simulacra.

Kearifan lokal yang semakin defisit perlu kita hadirkan kembali dalam setiap etos yang kita lakukan. Nilai-nilai luhur tersebut memberikan sebuah insight bagi kita semua untuk berdaya tahan terhadap gempuran budaya massa yang semakin mengganas dewasa ini, dan saya mengucapkan selamat datang di galaksi simulakra, sebuah galaksi yang penuh dengan tools-tools, layer-layer budaya massa, budaya masyarakat kita saat ini. Jadi, sudah siapkah kita memasukinya, saya kira siap tidak siap kita telah memasukinya dan bahkan terlibat didalamnya dan ironisnya banyak juga yang terjebak di dalamnya alias tersasar tidak dapat kembali pulang.


Sumber Acuan

Amir Piliang, Yasraf. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. 2004. Penerbit Jalasutra : Bandung.
Juliastuti, Nuraini. Studi Tubuh. Newsletter KUNCI No.1, 1999. Di muat dalam http://kunci.or.id/esai/nws/01/studi_tubuh.htm.
Riyanto, Geger. Apa Itu Simulacra. Di muat dalam http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/opini/artikel.php?aid=11921
Hamsah, Ustadi. Konstruk Agama & Budaya Dalam Media Televisi; Pemikiran Jean Baudrillard Tentang Determinasi Imaji. Sumber Belum Terlacak. Artikel ini saya dapati di Internet.

Lokakarya Internal Video #2

LOKAKARYA INTERNAL VIDEO # 2

RUANG CIPUTAT adalah sebuah tema pengungkapan wajah Ciputat melalui medium video sebagai praksis untuk merepresentasikan hiruk pikuk Ciputat. Pada lokakarya ini akan dilakukan dengan metode riset sosial yang terpadatkan pada beberapa aspek untuk pengungkapannya baik berbicara masalah situs, identitas maupun kesejarahan Ciputat. Program ini bertujuan untuk memproduksi dan mereproduksi wacana melalui bahasa audio visual. Didasari belum atau masih minimnya perekaman perihal Ciputat maka perlu diadakan sebuah program lokakarya untuk memberikan sebuah gagasan kepada publik.

Lokakarya ini dilakukan untuk memberikan kesadaran kritis agar dapat mengartikulasikan pikiran, pendapat, gagasan, rasa, dan keresahannya terhadap realitas disekitarnya dalam sudut pandang personal dan lokakarya ini juga dapat dijadikan ajang saling bertukar pikiran membahas sebuah persoalan di sekitarnya.

Lokakarya ini bertujuan memberikan pemahaman kepada para peserta untuk membangun sikap kritis di dirinya dan sebagai bentuk representasi gagasan dalam bentuk video.

Pada lokakarya ini masing-masing peserta ikut terlibat pada sebuah metode riset sosial, dimana pada metode riset sosial ini peserta diajak terlibat dalam sebuah penelitian (riset) mengenai Ciputat. Para peserta akan diajak untuk secara intens mendalami disiplin keilmuan yang memiliki relevansi dengan tema lokakarya ini dan terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan validitas data-data atau temuan-temuan berkenaan dengan konteks Ciputat. Para peserta dapat dengan bebas menentukan sendiri objek riset sosial yang akan di terjemahkan ke dalam medium video.

Para peserta diajak untuk dapat menemukan sesuatu hal yang menarik untuk direpresentasikan ke dalam video mengenai Ciputat yang dapat dilihat dari berbagai aspek seperti permasalahan sosial, situs-situs penting di Ciputat, identitas yang berbicara mengenai personalitas sebagai satu kesatuan stakeholder Ciputat, demografis dan Geografis Ciputat, Ciputat dilihat dari segi kesejarahannya, Ciputat yang dikenal banyak orang karena disinilah berdirilah sebuah Perguruan Tinggi yang ternama yakni Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan berbicara mengenai kampus UIN Jakarta banyak hal yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian/ pembuatan video baik berbicara dari segi sejarah, sosiologis, antropologis maupun secara politis.

Lokakarya ini akan mencoba untuk membaca fenonema sosial yang merupakan bagian integral dari ruang Ciputat berdasarkan atas tiga entitas yakni situs, identitas dan lingkungan yang berada pada kuasi Ciputat. Para peserta dapat menemukan sesuatu hal yang menarik dan menjadi sebuah ’isu’ yang dapat kita rekam sebagai data sejarah yang perlu kiranya untuk merekam artefak-artefak yang mungkin disuatu saat telah hilang dan kita telah merekamnya mengenai aktivitas Ciputat. Perekaman ini penting artinya untuk menghadirkan sebuah pengungkapan atas faktualitas dan tanda-tanda sosial di Ciputat yang tentunya berkaitan dengan persoalan psikologis, sosiologis, antropologis, budaya pop, ekonomi dan politik.

Pada lokakarya ini peserta melihatnya dari segi subyektifitas walaupun data-data sosial tersebut telah didapati dan ditemukan melalui riset sosial baik aspek literaturnya maupun terjun ke lapangan. Pada lokakarya ini para peserta diajak untuk membaca persoalan-persoalan di Ciputat yang berbanding lurus dengan pengalamannya dan pengalaman orang lain sebagai bagian dari fenomena Ciputat.

Para peserta yang terlibat dalam lokakarya ini dapat merumuskan dan mengindentifikasi masalah mengenai persoalan-persoalan yang ada di Ciputat dan menemukan sebuah hal yang menarik yang ditemukan oleh para peserta semisal rumah makan favorit dan terkenal di kalangan mahasiswa UIN ataupun pandangan dan tanggapan masyarakat setelah dibangunnya fly over Ciputat dll.

Lokakarya Internal Video # 2 KOMKA berlangsung selama pada 2 Maret- 27 Maret 2009. Lokakarya ini bekerja dengan metode riset sosial yang akan di pandu oleh mentor dan panitia. Dalam workshop ini masing-masing Partisipan membagi pengalaman sosial dan visualnya dengan diskusi dan presentasi. Hasil akhirnya akan dibuat dengan medium video dengan durasi minimal 1 menit tiap karya, sesuai dengan ide dan persoalan yang akan diangkat dan para peserta dapat juga membuat video baik sendiri-sendiri maupun berkelompok maksimal 4 orang. Proses eksekusi diperkenankan dengan menggunakan medium video berbasis kamera video, handphone, kamera digital, kamera SLR, footage-footage yang mungkin dapat dicari di mana saja seperti di internet atau juga di masing-masing folder komputer seperti foto-foto, dsb.

Peserta Lokakarya sangat diwajibkan membuat sebuah makalah sederhana dari hasil riset yang ia rumuskan dan temukan sebagai program dokumentasi riset.

Jadilah saksi sejarah atas apa yang kamu rekam!!

Februari 16, 2009

Menuju KOMKAfest

KOMKAfest adalah rangkaian kegiatan untuk memeriahkan hari jadi KOMKA ke 5 di bulan Mei 2009. perhelatan KOMKAfest merupakan yang pertama bagi kami dan tentunya ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi kami untuk dapat memberikan sebuah warna yang berbeda di kampus kami. Gagasan untuk membuat KOMKAfest bukanlah perkara yang mudah mulai dari segi konsepnya sampai pada persoalan teknis termasuk pendanaan. Tujuan diadakannya KOMKAfest adalah sebagai ruang dialog dan apresiasi di ranah kesenian dan kebudayaan yang hendak kami tawarkan agar menjadi diskursus kita bersama. Program ini memiliki sebuah pendekatan yang berbeda dan boleh dikatakan yang pertama di kampus kami. Disini sangat jelas sekali tujuan diadakannya KOMKAfest merupakan respons kami atas situasi kekinian baik di kampus kami sendiri maupun merespons dinamika yang begitu cepat. situasi di kampus kami dimana apresiasi kesenian dan kebudayaan masih terasa kurang dan bahkan ditempatkan pada wilayah peripheral. selain itu berupa faktor eksternal yang turut membuat kami untuk segera melakukan affirmative action yakni mengadakan KOMKAfest.



Antara kedua faktor inilah yang mendasari kami untuk mengadakannya. Pada perhelatan KOMKAfest ini kami mengangkat sebuah isu yang kami yakin isu ini sudah sangat akrab dalam keseharian kita dan menjadi sebuah kontroversi sampai saat ini yang seakan tidak menemukan titik penyelesaiannya. Isu mengenai mass culture inilah yang menjadi narasi besar dalam program KOMKAfest. Mass Culture dalam pandangan kami bukanlah sebuah fenomena yang perlu untuk dimusuhi ataupun ditakuti namun kita menerimanya sebagai sebuah konsekuensi kesejarahan peradaban manusia dan bagi bagaimana melihatnya secara fenomenologis namun disisi lain tidak serta merta menerimanya begitu saja tanpa ada sebuah kritik disitu. nah, kritik kami terhadap narasi besar mass culture kami implementasikan dalam KOMKAfest dimana baik pelaku seni, budayawan, peneliti, pengamat, dan masyarakat intelektual kami undang dan ajak terlibat dalam perhelatan kami. Adapun yang menjadi catatan disini ialah respons kami terhadap mass culture berangkat dari kegelisahan selama ini yang masih terpatri dan kami mencoba untuk mengimplementasikannya.

KOMKAfest hadir secara sadar atas dinamika kekinian yang selama ini menggumpal di pikiran kami masing-masing dan sudah saatnya kami untuk segera melakukannya daripada tersimpan di pikiran. KOMKAfest mengambil sebuah gagasan tentang wacana budaya massa dan gagasan tersebut kami terjermahkan kedalam serangkaian kegiatan mulai dari exhibition, screening, performing art, seminar, talk show, artists talk's, band performance, dan senior high school video competition. Keseluruhan rangkaian KOMKAfest terbungkus pada isu budaya massa terutama sekali ialah wacana simulacra yang menjadi benang merah perhelatan kami.

Dukung dan Doakan kami...

Januari 30, 2009

SELAMAT BERGABUNG

Dear Teman Baru KOMKA
Setelah menunggu dengan harap-harap cemas akhirnya berita KELULUSAN kamu disebar dan kamu LULUS Test Potensi Terpadu..... Hore...hore

Januari 29, 2009

Dear Teman Baru

Hey...hey...
Alhamdulilah Program Talenta 2009 berjalan baik terbukti sekitar 47 orang mendaftar menjadi calon anggota KOMKA dan Test Potensi Terpadu yang terdiri dari Tes Tulis dan Interview telah dilaksanakan. Hasil Test Potensi Terpadu berjumlah 25 Orang dari 47 orang pendaftar dan 33 orang yang mengikuti Test Potensi Terpadu. Nama-nama yang lolos seleksi Test Potensi Terpadu akan diumumkan pada tanggal 29 Januari 2009. dan selanjutnya bagi mereka yang lulus seleksi di wajibkan mengikuti Technical Meeting yang diselenggarakan pada hari Jumat, 30 Januari 2009 untuk selanjutnya mengikuti Program workshop yang akan diselenggarakan pada tanggal 2-4 Februari 2009 dan Program terakhir Talenta yaitu Pengukuhan pada tanggal 12-14 Februari 2009 di Cibatok Bogor.

Januari 06, 2009

minidivi edisi 7 januari 2009

Dear all, dateng ya pada diskusi minidivi KOMKA edisi Rabu, 7 Januari 2009 di lt. 7 Fakultas Komunikasi dan Dakwah UIN Jakarta untuk edisi ini akan di bahas tentang kejujuran mata kamera dalam merekam obyek di depan lensa kamera... so seru abizzz diskusi ini biar kita tau sejauh mana kejujuran mata kamera dalam merekam obyek di depannya dan benarkah mata kamera itu jujur obyektif apa adanya dengan merekam penampakan di depannya atau bagaimana posisi subyek yang merekam apakah mata kamera tetap obyektif jujur dan murni tanpa campur tangan subyek yang ada di belakangnya... untuk mengetahuinya dan penasaran dengan ini ikuti diskusi minidivi KOMKA yang di presentasikan oleh Renal Rinoza Kasturi seorang videomaker dan antropolog media... diskusi ini diselenggarakan jam 4 sore di lt. 7 setelah Promo Film Pintu Terlarang, film terbaru Joko Anwar.

Januari 04, 2009

Promo Film Anyar Joko Anwar

Dear all,

Joko Anwar yang akan merilis film terbarunya yang berjudul Pintu Terlarang, diperankan oleh dua bintang yang tidak asing buat kita semua... Fachri Albar dan Marsha Timothy akan melakukan Promo di berbagai kampus dan kampus UIN Jakarta dipilih menjadi tempat pertama untuk promo film Pintu Terlarang yang akan diselenggarakan pada hari Rabu, 7 Januari 2009 di Lt. Teater lt. VI Fakultas Komunikasi UIN Jakarta yang bekerjasama dengan KOMKA UIN Jakarta selaku tuan rumah... Promo film ini tak terlepas dari jalinan yang sudah terbina selama ini antara KOMKA dengan Bang Joko ya tepat waktu itu di Opening Festival Film Pendek Konfiden 2008 di Galeri Cipta II TIM Bang Joko dan Ray Sangga Kusuma sepakat untukpromo film terbarunya di kampus UIN Jakarta.

Datang dan Saksikan!!!